Kamis, 23 Februari 2012

Chapter 1


"A New School"

Jake keluar dari mobil dengan wajah murung, semurung awan gelap yang menyembunyikan matahari sejak pagi, rambut kelabunya bergoyang tertiup angin musim gugur yang terasa dingin menusuk. Di hadapannya berdiri sebuah bangunan tinggi gelap, besar dan tampak tua sekali, dengan gerbang besi tempa yang sudah penuh karat yang di atasnya tertulis tiga buah kata dari huruf emas yang sudah pudar; “Queen High School”. Seolah dia sudah berdiri di sana sejak berabad-abad lalu, menyimpan sejuta misteri dalam dinding batunya yang gelap. Bahkan lumut yang hampir memenuhi seluruh permukaan dindingnya tampak menghitam dan kering.

Sebuah pos satpam kecil yang lusuh berdiri di sisi selatan di belakang gerbang. Di dalamnya duduk seorang satpam setengah baya yang mengantuk. Halamannya sangat sempit, sisi utaranya tertutup oleh sebuah pohon ek besar yang dedaunannya mulai menguning dan rontok, berserakan tak terurus. Tepat di bawah pohon, di sepanjang sisi pagar, terdapat dua buah bangku kayu panjang. Aneh, memasang bangku panjang seperti itu tepat di samping pagar. Yang lebih aneh lagi, di sisi barat terdapat sebuah taman kecil dengan bunga-bunga kering dan mati.

Namun yang paling membuat Jake heran adalah, yang tampak di hadapannya bukanlah bagian depan bangunan, dengan pintu dan teras, seperti bangunan pada umumnya, tapi justru dinding belakangnya, dengan jendela-jendela lebar berpanel kayu. Entah apakah bangunan aneh dan mengerikan itu bisa disebut sekolah, tapi dari salah satu jendela yang terbuka Jake dapat melihat beberapa siswa berseragam gelap duduk dengan rapi.

Jake mengalihkan perhatiannya, kedua mata kelabunya yang tampak redup di balik kacamata perseginya menatap bangunan di seberang jalan, tepat di hadapan gedung sekolah tua, dua pasang gedung panjang berlantai dua berdiri dipisahkan oleh sebuah jalan batu yang berakhir pada sebuah bangunan putih yang bertuliskan "KANTOR KEPALA SEKOLAH" dengan huruf emas besar yang menyala, bahkan di bawah langit mendung.

Gerbangnya sama dengan gedung sekolah, dari besi tempa yang penuh karat, bahkan tampak lebih mengkhawatirkan, juga ada pos satpam dengan seorang satpam muda gemuk di dalamnya, tampak asyik menghisap rokok sambil membaca Koran.

Jalan batunya mengerikan, banyak sekali lubang bekas batu yang terlepas atau hilang, bongkahan batu berceceran, bahkan ada bagian yang retak dan sedikit terangkat. Di kedua sisinya terdapat jejeran pohon palem yang sebagian besar sudah kering dan mati. Jendela-jendela kayu lebar dan kusam berjejer di sepanjang dinding batu yang penuh dengan lumut kering dan hitam.

Bunyi dentang nyaring terdengar saat Mr. Agron menekan bel yang terpasang tepat di atas ambang pintu kantor. Sesaat kemudian terdengar langkah kaki berat dan pintu mengayun terbuka. Tampak seorang wanita gemuk dengan mata hitam besar berdiri di depan pintu. Bibirnya yang tebal menyala karena lipstik merahnya. Jemari tangannya pendek dan bulat, persis seperti sosis, dengan cat kuku merah menyala, sementara kedua lengannya yang sukuran paha dipenuhi perhiasan yang berkilauan bahkan tanpa sinar matahari.

Tapi pakaian yang dikenakannya tampak mewah, blazer merah marun dengan rok pendek sewarna, yang Jake yakin terbuat dari bahan sutera. Wanita berjari sosis itu tersenyum pada Mr. Agron yang berdiri di hadapannya, yang membuat Jake agak merinding karena tampak menyeramkan dan mengingatkannya pada seringai drakula yang biasa dilihatnya di film.

Kedua mata besarnya yang gelap menatap para tamunya satu per satu. Saat tatapannya sampai pada Jake, mendadak senyum drakulanya lenyap dan kedua mata besarnya melebar, raut mukanya berubah seolah dia melihat drakula sungguhan berdiri di tempat Jake berada. Tapi dengan cepat dia merubah ekspresi wajahnya kembali, memperlihatkan senyum drakulanya dan menyambut para tamunya.

Jake terkejut saat mendengar suaranya, sangat berlawanan dengan tubuhnya yang gemuk dan besar; melengking dan terdengar seperti suara anak kecil.

"Selamat datang Mr. dan Mrs. Agron, silahkan masuk, saya sudah menunggu kedatangan Anda," katanya sebelum kembali masuk ke dalam kantor diikuti ketiga tamunya.

Jake mengerjap kedua matanya karena kantor yang sepertinya cukup luas itu hampir gelap, bahkan dibanding langit mendung di luar,  seluruh dindingnya berwarna hitam legam bagai langit malam, bahkan mungkin lebih hitam. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari lilin yang menyala di atas tempat lilin kuno yang tergantung di tengah ruangan, memancarkan  cahaya remang-remang di ruangan yang tertutup rapat itu. Seakan  hari mendadak berubah menjadi malam, sangat kontras dengan dinding luarnyanya yang putih bersih.

Setelah mulai terbiasa dengan kondisi ruangan itu, Jake dapat melihat beberapa kepala binatang digantung di dinding sebelah timur, tepat di atas meja Kepala Sekolah yang berhadapan dengan pintu masuk. Satu set sofa kulit berwarna gelap, mungkin hitam, berada di sisi selatan ruangan dan sebuah lemari besar yang penuh dengan buku ikut memenuhi kantor itu.

Setelah mempersilahkan ketiga tamunya duduk di sofa, wanita gemuk itu memperkenalkan dirinya. Namanya Miss Eve Angelique Black, dan lebih suka dipanggil 'Miss' Eve, meskipun sudah dua kali menikah dan bercerai bertahun-tahun yang lalu.

Lalu dengan suaranya yang melengking dan aneh itu dia mulai menjelaskan segala sesuatu tentang sekolahnya, termasuk peraturan dan larangan, "Kunjungan paling sering tiga bulan sekali, tidak lebih, dan tidak boleh ada telepon selular atau benda-benda sejenis lainnya," kata Miss Eve mengakhiri pidatonya.

Kedua orang tua Jake sama sekali tak berkomentar apapun, mereka hanya diam mendengarkan pidato Miss Eve, seolah itu hal yang sangat menarik. Dan begitu selesai, Mr. Agron segera berkata, "Kami sepenuhnya mempercayakan putra kami pada Anda. Tapi kami minta maaf, kami tak bisa berlama-lama di sini. Kami harus segera pamit."

Begitulah, tanpa kata-kata ataupun pelukan perpisahan, mereka berdua pergi meninggalkan Jake di dalam kantor yang gelap itu bersama monster gemuk berjari sosis yang tampaknya cukup kejam. Sementara Jake hanya bisa melepas kepergian mereka dengan tatapan kosong.

Sepeninggal kedua orang tua Jake, entah kenapa suasana kantor terasa menjadi lebih tegang. Senyum drakula Miss Eve tampak lebih seram dari sebelumnya. Dan nada bicaranya berubah, terkesan lebih dingin dan angkuh, walau masih melengking aneh.

"Nah, sekarang angkat kopermu dan ikut aku!" serunya.

Miss Eve keluar dari kantornya dan berjalan menuju sepasang gedung di sisi selatan, diikuti Jake yang menjinjing koper besarnya. Mereka melewati sebuah halaman luas yang terdapat di sebelah timur kedua gedung tersebut, yang juga bersebelahan dengan kantin besar yang sepi.

Kedua gedung itu saling berhadapan, dipisahkan halaman selebar sepuluh kaki lebih. Jendela-jendelanya yang lebar dan berpanel kayu sudah sangat using. Lantai batu di terasnya pun tak jauh beda dengan jalan batu di depan kantor Kepsek. Miss Eve masuk ke gedung sebelah utara, di mana tepat di belakangnya ada jalan batu yang menuju ke kantornya.

Bagian dalam gedung asrama itu tidak lebih baik dari bagian luarnya. Mereka berdua berjalan di dalam koridor yang tinggi dalam diam, gema langkah kaki mereka terdengar begitu jelas. Dan sepanjang koridor yang lebarnya hampir lima kaki itu Jake hampir tak bisa melihat saking gelapnya. Hanya ada cahaya remang-remang yang berasal dari lampu-lampu kuning kecil yang tergantung di langit-langit koridor yang membantu penglihatannya, meskipun sebagian besar sudah mati atau pecah.

Miss Eve terus berjalan hingga sampai ke ujung koridor. Di situ ada anak tangga batu menuju ke lantai dua, dan Miss Eve menaikinya. Seperti dugaanya, lantai dua sama suramnya dengan lantai satu, bahkan mungkin lebih parah.

Jake sedang asyik memperhatikan dinding dan atap koridor yang sangat kotor itu saat tiba-tiba Miss Eve berhenti. Hampir saja dia menabrak tubuh gemuk wanita itu saking kagetnya.

Mereka berdua berdiri tepat di depan pintu kayu tinggi yang tampak lapuk tapi juga terkesan kokoh, di bagian atasnya terpasang angka tiga belas dengan warna emas kusam. Saat Miss Eve mendorongnya hingga terbuka, terdengar bunyi derit berat, seperti rintihan orang yang menahan sakit luar biasa.

Dengan jemari sosisnya yang bulat, Miss Eve mencengkeram bahu Jake dan mendorongnya masuk ke dalam kamar dengan kasar. Setengah terhuyung dan menahan sakit di bahunya, Jake berhenti tak jauh dari ambang pintu.

Kamar itu cukup luas, dua buah ranjang tingkat berjejer di sisi timur dan barat dinding dengan meja belajar panjang berada di antara keduanya. Ranjang di sisi timur yang bagian atas tertutup rapat oleh sebuah kain putih, sepertinya itu ranjang yang akan dia tempati, pikir Jake. Tepat di atas meja belajar terdapat sebuah jendela kayu kusam lebar yang tertutup rapat. Dua buah lemari agak besar berdiri di sisi barat dan timur pintu, menghadap kedua ranjang.

"Ini kamarmu bocah!" geram Miss Eve, "Dan jangan berulah di hari pertamamu di sini!"

Dengan satu tarikan kuat dan bunyi derit cepat Miss Eve menutup pintu, yang berdebam cukup  keras, meninggalkan Jake sendirian di dalam kamar itu.

Jake mendesah, meletakkan kopernya di dekat ranjang timur dan duduk di atas kepala ranjangnya. Dia membuka daun jendela yang lebar dan kusam, memberikan sedikit tambahan cahaya untuk ruangan yang temaram itu.

Tempat itu sangat sunyi, tak ada suara lain selain bunyi desir daun palem kering yang tertiup angin. Tapi di kejauhan terdengar deru mesin yang Jake tak tauh apa itu. Mungkin traktor, karena sekolah ini berada di tengah-tengah ladang gandum yang sangat luas, satu lagi fakta aneh tentang sekolah ini.

Tepat pukul empat, saat matahari sedikit menampakkan dirinya dan memancarkan sinar keemasannya, terdengar bunyi dentang bel nyaring dari arah gedung sekolah. Beberapa saat kemudian terdengar gemuruh langkah kaki yang semakin mendekat. Dan ribuan murid berseragam hitam-hitam melewati jalan batu di bawah jendela kamar tiga belas. Para murid laki-laki belok ke arah selatan sementara murid perempuan belok ke arah utara.

Bunyi derit pintu terbuka terdengar bersahutan diiringi ramainya celotehan.

Tiba-tiba pintu kamar tiga belas terbuka dengan cepat, diikuti suara tawa riang dan seorang remaja berambut pirang pucat masuk. Sejenak dia meneruskan tawanya, tapi saat kedua mata hitamnya melihat sosok Jake, tawanya langsung lenyap dan dia berdiri terbengong dengan mulut menganga, seolah melihat hantu di siang bolong.

Dua orang lain masuk, satu jangkung dengan rambut cokelat dan satunya lagi sama tingginya dengan yang pertama. Reaksi si jangkung sama seperti temannya saat melihat Jake, tapi hanya sesaat.

Sementara yang satunya, yang berwajah pucat, sama sekali tak tampak terkejut sedikitpun, hanya menatap Jake sekilas lalu meletakkan tas hitamnya di atas meja kecil di samping ranjang di mana Jake duduk dan mengganti pakaiannya. Sementara kedua temannya perlahan mendekati Jake.

"Hai, kau anak baru, ya?" sapa si rambut pirang ramah, "Aku Oliver Twist," katanya sambil mengulurkan tangan.

"Aku Jake Agron," jawab Jake sambil menyambut uluran tangannya.

"Aku Joe Wood, ketua kamar ini. Dan yang sedang membaca itu," Joe melirik ke arah temannya yang sedang memabaca di atas ranjang seberang, "Namanya Cloth Wishton. Dia memang agak tertutup," tambahnya sambil berbisik.

Jake tersenyum sementara Cloth hanya melirik sekilas dan kembali ke bukunya.

"Kurasa lebih baik kami mengajakmu melihat sekeliling tempat ini," usul Joe. Dia keluar diikuti Oliver yang menarik tangan Jake.

Matahari sudah hilang lagi, tapi sepertinya sudah hampir tenggelam, karena udara makin dingin dan sorot merah panjang sinarnya tampak dari sela-sela awan mendung, tepat di ujung barat. Kabut tipis mulai muncul dan merayap di atas tanah, tapi suasana gedung asrama ramai sekali.

Beberapa anak duduk berkelompok di teras. Ada juga yang bermain basket di halaman di sisi timur gedung asrama. Tepat di samping halaman ada kantin besar yang tak sempat Jake perhatikan saat melewati halaman tadi siang.

Yang membuat Jake heran adalah susunan nomor urut kamar-kamar asrama, bukannya dimulai dari lantai dasar, tapi justru dari lantai atas. Jadi nomor satu sampai dua puluh di lantai dua, sementara dua puluh selanjutnya di lantai bawah. Benar-benar aneh.

Tapi dari semua keganjilan yang ada di seluruh tempat itu, ada satu hal yang mengganggu pikiran Jake sejak awal.

Setiap kali orang menatap wajahnya, mereka selalu tampak terkejut dan takut, semua orang kecuali Cloth. Memangnya dia hantu? Pikir Jake heran. Dan saat ditanya tentang hal itu, Oliver hanya angkat bahu dan Joe justru mengalihkan pembicaraan.

"Sebentar lagi gelap, lebih baik kita keliling sekolah sebentar sebelum makan malam," kata Joe.

Jake tak bisa memaksa mereka untuk bicara, dia hanya bisa mengiyakan ajakan Joe. Saat melewati jalan batu, Jake melihat sorang gadis berambut merah panjang duduk di salah satu ambang jendela lantai dua asrama putri. Kedua mata birunya menatap lurus ke arah sekolah, tampak dingin dan kosong, seolah semua cahaya kehidupan di dalamnya telah pergi dan tertinggal di bangunan tua itu.

Entah kenapa Jake merasa sangat penasaran dengan gadis itu, rasanya seolah dia pernah bertemu dengannya, bahkan dia merasa dekat dengannya, sangat dekat malah. Saat melihat gadis itu, muncul sebuah perasaan aneh, perasaan seperti déjà vu. Jake ingin menanyakan tentang gadis itu pada Joe dan Oliver, tapi mereka berdua terus berbicara mengenai sejarah berdirinya sekolah itu, yang ternyata sudah berumur ratusan tahun.

Tapi Jake tak berkata apapun hingga mereka bertiga memasuki gerbang sekolah. Awalnya Jake bingung, di mana pintu masuk ke bagian dalam gedung sekolah, karena yang tampak dari depan hanya dinding belakang, tanpa balkon, tanpa koridor yang menembus ke dalam. Tapi kemudian Joe dan Oliver berjalan ke arah selatan, Jake melihat sebuah pintu lengkung tinggi tanpa daun pintu, yang menembus ke teras panjang gedung sekolah. Mereka bertiga masuk.

Jake ternganga melihat apa yang ada di hadapannya. Bangunan sekolah itu sedikit aneh. Hanya terdiri dari satu gedung berbentuk persegi, dengan teras menghadap ke sebuah lapangan lebar yang ada di tengah-tengah gedung. Jadi itu sebabnya Jake hanya melihat dinding belakang dari pagar depan, piker Jake.

“Jadi, si Miss Eve ini adalah Kepala Sekolah generasi ke-18?” tanya Jake menyahut ucapan Joe sebelum memasuki pintu lengkung. Mereka baru saja melewati ruangan berlabel: “Art”.
           
“Yup,” jawab Joe singkat.

“Lalu, kalau dia memang tak punya keturunan, siapa yang akan menjadi pewarisnya? Kau bilang sekolah ini milik keluarganya dan Kepala Sekolah ini harus anggota  keluarga Black kan?” Tanya Jake lagi.

“Oh, kalau soal itu, Miss Eve punya seorang adik laki-laki yang juga menjadi pengajar di sini, dia masih sangat muda,” kata Joe, memimpin mereka keluar dari gedung sekolah.

“Adik satu ayah? Dan dia mengajar di sini?” tanya Jake heran, “Biasanya hubungan seperti itu kan tidak berjalan dengan baik. Kalau bisa menjalankan sekolah ini bersama-sama, mereka pasti cukup dekat.”

Oliver menggelengkan kepalanya, “Kurasa kau salah,” sahutnya, “Meski memang mereka tak pernah ribut atau bertengkar dan kelihatan akur, sebenarnya ada ketegangan diantara mereka berdua. Kau pasti bisa merasakannya saat mereka sedang bersama, suasana mencekam yang terasa, benar-benar mengerikan, tapi kurasa Miss Eve lah yang tampak mengerikan.”

Jake mengangkat alis, “Ah, sepertinya rumit.”

“Hahaha, jangan terlalu percaya apa yang Oliver bilang, Jake. Dia memang punya imajinasi yang tinggi,” tawa Joe, mereka baru saja memasuki gerbang asrama, “Jangan percaya apa yang kau lihat dan kau dengar sampai kau membuktikan kebenarannya dengan mata dan telingamu sendiri.”

Jake hanya tersenyum tipis sementara Oliver tampak agak kesal. Mereka berdua baru setengah jalan saat Jake secara reflek menoleh ke kiri, gadis berambut merah yang tadi dilihatnya sudah tidak ada, tapi jendela kamarnya tetap terbuka. Apakah dia sedang makan malam di kantin? Jake penasaran apakah besok dia bisa bertemu dengannya di sekolah, atau jangan-jangan dia satu kelas dengannya.

Pertanyaan Jake segera terjawab saat mereka sampai di kantin. Rambut merah menyala milik gadis itu segera terlihat di salah satu sudut, sendirian. Sorot matanya tak berubah, dingin dan kosong.

Seperti sebelumnya, saat memasuki kantin semua orang yang melihatnya tampak terkejut dan takut, beberapa bahkan tersedak. Dalam sekejap saja semua tatapan sudah tertuju padanya. Awalnya hening, lalu berubah menjadi bisik-bisik yang menjengkelkan. Tapi gadis berambut merah itu tidak melihatnya, dia terlalu sibuk dengan lamunannya dan tak tahu bahwa perhatian teman-temannya sudah beralih pada anak baru yang baru saja memasuki kantin.

Usai makan malam yang penuh dengan tatapan dan bisikan di sekelilingnya, Jake merasa kabut makin menebal dan udara makin dingin. Dia berbaring di ranjangnya, menarik selimutnya sampai menutupi separuh wajahnya, sementara kedua mata kelabunya yang kosong menatap langit-langit, semuanya terasa seperti mimpi. Kemarin malam dia masih tidur d dalam kamar asramanya yang luas dan bersih, sendirian. Tapi sekarang dia sudah terdampar di belahan dunia yang lain, terkurung di di tempat asing yang sangat terpencil dan mengerikan. Semoga semuanya berjalan dengan baik, doanya sebelum menutup mata.

Jake terbangun tepat setelah Cloth bangun dan membuka jendela kamar, membawa masuk sinar matahari pagi yang cerah. Di jkaki ranjangnya tergeletak seragam sekolahnya yang masih terbungkus rapi. Jas dan celana hitam, kemeja putih dan dasi bergaris warna merah dan hitam. Jake memperhatikan lambing sekolah yang ada di saku kiri kemeja dan jas, sebuah buku yang terbuka dengan pena bulu yang sedang menulis, sebuah mahkota besar di atas buku dan pena bulu, dan rantai berbentuk segi lima sebagai tepinya, semuanya berwarna emas. Di bawah lambang itu tertulis nama sekolah dengan benang emsa pula; “Queen High School”. Jake masih merasa aneh dengan nama sekolah ini.

Sementara Jake memakai seragamnya, Cloth sudah rapid dan pergi tanpa menyapa sama sekali.

"Memangnya setiap hari dia seperti itu?" tanya Jake heran.

"Benar," sahut Oliver, "Dan kau tahu? Sejak pertama kali bertemu, aku hampir tak pernah melihat dia tersenyum, apalagi tertawa."

"Eh? Itu berarti sudah lebih dari empat tahun, kan?"

Oliver mengangkat bahu, "Begitulah," katanya, “Nanti kau juga akan terbiasa.”

Setelah memastikan semuanya beres, mereka bertiga berangkat. Tapi Jake berpisah di kantor Miss Eve karena dia belum tahu di kelas mana dia akan ditempatkan.


Suasana di dalam kantor Miss Eve masih sama seperti kemarin, suram dan remang-remang. Tapi penampilan Miss Eve lebih menakutkan, dengan setelan, eyeshadow dan lipstik serba hitam, dia tampak benar-benar seperti drakula. Tapi untungnya dia tidak bicara panjang lebar dan langsung mengajak Jake menuju sekolah.

Semua teras kosong dan suasana sepi sekali ,sepertinya semua murid sudah berada di dalam kelas masing-masing. Miss Eve membawa Jake ke lantai dua gedung bagian selatan. Di pintu ketiga, yang berlabel "Chemistry" dengan huruf emas, Miss Eve berhenti dan mengetuknya dengan keras.

Suara yang tadinya samar-samar terdengar berhenti, kemudian terdengar bunyi langkah mendekat dan pintu kayu tua itu berderit terbuka. Seorang pria berumur empat puluhan dengan wajah ramah berdiri dengan tangan kanan memegang kenop pintu. Dia tersenyum pada Miss Eve dan membuka pintu hingga terbuka sepenuhnya.

Saat kedua mata hitamnya melihat Jake, keningnya berkerut sesaat, tapi dia segera memutar tubuhnya dan duduk di kursinya setelah mempersilahkan mereka berdua masuk. Jake dan Miss Eve masuk mengikutinya, semua mata awalnya tertuju pada Miss Eve, tapi saat mereka melihat Jake, semuanya tampak terbelalak danmenahan napas, kecuali seorang gadis berambut merah yang duduk di sudut belakang dan ketiga teman sekamarnya yang ternyata satu kelas.

"Selamat pagi anak-anak!" sapa Miss Eve dengan suaranya yang melengking.

Murid-murid yang masih terkejut dengan kehadiran Jake menjawab sapaan Miss Eve dengan gumaman pelan. Miss Eve meraih tongkat kayu kecil di atas meja guru dan memukulkannya sekuat tenaga, membuat semua orang terlonjak, tak terkecuali Jake dan guru bermata hitam yang duduk di kursinya.

"Jawab salamku dengan benar!" serunya dengan suara melengking yang mengerikan. Dia lalu mengulang salamnya.

Terdengar sahutan keras dan serempak dan Miss Eve tersenyum puas.

"Nah, mulai hari ini kau akan belajar di kelas 11-1 ini," kata Miss pada Jake, "Mr. Frederick, kuserahkan anak ini pada Anda," lanjutnya pada si Guru Kimia.

Mr. Frederick tersenyum dan mengangguk, "Tentu."

Setelah berkata, "Baiklah, aku harus segera kembali ke kantorku, selamat tinggal!" Miss Eve meninggalkan Jake yang setengah termenung di samping Mr. Frederick.

"Baik nak, kau punya waktu lima menit untuk memperkenalkan dirimu pada teman-teman barumu," kata Mr. Frederick ramah.

Jake menatap barisan siswa-siswi yang duduk rapi di hadapannya dengan gugup. Karena, jujur saja, tatapan mereka seakan campuran antara perasaan terkejut, takut, penasaran, marah bahkan jijik.

Setelah berdehem pelan, akhirnya dia memberanikan diri bicara, "Namaku Jake Agron... aku... pindahan dari High End High School di Endland, salam kenal," katanya gugup.

Saat Jake menyebutkan sekolah asalnya, terdengar lenguhan dan bisik-bisik yang cukup ramai. Mr. Frederick mencoba menenangkan mereka dan menyuruh Jake duduk di bangku paling belakang, tepat di samping kanan si gadis berambut merah yang duduk dekat jendela.

Jake berjalan dengan risih karena tatapan belasan pasang mata sama sekali tak lepas darinya hingga dia duduk. Bahkan selama pelajaran berlangsung masih ada beberapa anak yang berusaha mencuri pandang ke arahnya, seolah ingin memastikan kalau matanya tidak salah lihat.

"Kalian harus memberitahuku," kata Jake setelah pelajaran usai, mereka bertiga sedang menuju kelas Seni yang terletak di lantai dua gedung bagian timur.

“Memberitahumu apa?” Oliver balik bertanya.

"Memberitahuku apa?" ulang Jake agak kesal, "Tentu kalian yang lebih tahu. Ada apa sebenarnya? Kenapa semua orang melihatku seperti melihat hantu?"

Tepat saat itu seorang gadis kelas 8 lewat, dan bisa dipastikan dia tampak terkejut melihat Jake dan segera berlari sambil menoleh ke belakang sekali lagi. Jake menggertakkan giginya, “Kalian lihat yang barusan?”

Oliver diam saja, tatapannya lurus ke lantai batu. Sementara Joe melihat Jake dengan bingung, "Maafkan kami Jake, kurasa kami bukan orang yang tepat untuk menceritakan semuanya. Seseorang, aku yakin nanti akan ada orang yang menjelaskan semuanya padamu," katanya.

Jake hendak bicara lagi, tapi mereka sudah sampai di kelas Seni. Jake melihat label “Art” berwarna emas kusam di atas pintu. Joe dan Oliver langsung masuk ke dalam kelas meninggalkan Jake sendirian di ambang pintu. Dia sedang memperhatikan ruang kelas itu, yang berbeda dengan kelas Kimia, tentu saja, itu kan kelas Seni. Ada dua puluh kanvas lebar berjejer di sekeliling dinding dengan satu kursi di depan masing-masing. Lengkap dengan alat lukis dan cat di atas meja kecil di sampingnya.

Jake baru saja hendak melangkahkan kaki untuk masuk saat tiba-tiba seseorang menyelinap masuk dan menghalangi jalannya. Seorang teman sekelasnya, jangkung dan berbadan kekar, sorot matanya tampak kejam dan merendahkan.

"Hei, bocah Endland," katanya sinis, "Jadi, kau menempati kamar tiga belas itu, ya?"

Jake memandangnya curiga, "Benar, memangnya kenapa?"

"Huh, bukan urusanmu,” kata si jangkung ketus, “Dasar kau sama saja dengannya. Kenapa kau datang ke sini? Kau hantu sial..."

Kata-katanya terpotong oleh suara berat seorang pria tepat di belakang Jake, "Jangan ganggu dia, Howard!"

Si jangkung yang dipanggil Howard membelalakkan kedua matanya, sedangkan Jake segera memutar tubuhnya, di hadapannya berdiri seorang pria muda, sekitar tiga puluhan, lebih tinggi darinya, rambut kelabunya sedikit acak-acakan, wajahnya sedikit kotor terkena cat, dan pakaian yang dikenakannya, aneh sekali, jeans hitam dan kaos polos sewarna, siapa pria kumal ini?

Si Howard segera menyingkir dan duduk di sudut tenggara dengan kesal.

Jake menatap pria di hadapannya dengan heran dan bingung, bukan hanya karena penampilannya yang aneh, tapi juga karena pria itu tampak mirip dengan dirinya, seolah dia sedang melihat ke dalam cermin, kecuali yang dilihatnya tampak lebih tua darinya. Mereka berdua berpandangan cukup lama, dan Jake merasa ada yang aneh dengan tatapannya ,tatapan mata kelabu pucat yang sama dengan miliknya.

Akhirnya pria itu tersenyum dan bicara, "Kau Jake Agron, kan?" tanyanya ramah, "Selamat datang di Queen High School, aku guru Seni, Ted Clark."

Jake semakin bingung karena Mr. Clark mengulurkan tangannya. Setengah ragu dia menyambut uluran tangan guru barunya itu.

Setelah menyuruh Jake duduk, dia berdiri di tengah ruangan karena tidak ada kursi dan meja guru. Dan guru ‘aneh’ itu memulai pelajaran. Dia menjelaskan tentang makna berbagai bentuk garis.

Selama pelajaran berlangsung, Jake merasa Mr. Clark memperhatikannya diam-diam, seperti seorang anak kecil yang penasaran dengan benda aneh yang muncul di hadapannya, padahal semua orang tampak ketakutan saat melihatnya. Dan jujur saja, dia juga merasakan suatu perasaan yang aneh dalam hatinya saat melihat guru itu, entah kenapa dia merasakan sebuah kerinduan, dan tiba-tiba dia teringat kedua orang tuanya yang sekarang entah ada di mana.

Hari pertama belajar di sekolah teraneh yang pernah Jake lihat dipenuhi dengan tatapan terkejut, takut, benci, senang, bahkan penasaran. Hampir tak ada yang mau berkenalan dengannya kecuali salah satu dari si kembar Hunt, Louis. Dia sangat ramah dan sopan. Dia selalu tersenyum saat berbicara, sangat berbeda dengan Cloth, bahkan dengan saudara kembarnya sendiri, Rood, yang sedikit kasar dan pelit senyum.

Meskipun begitu, sampai makan malam selesai dan semua tidur di kamar masing-masing, Jake masih belum mengetahui apa yang telah terjadi sehingga siapapun yang melihatnya akan ketakutan, seolah dia adalah hantu yang kembali dari kematian.